Bukan Karena Tikus Buta Warna

by: Bee Basuki

Alam dan segala isinya, flora dan faunanya, dipersiapkan sedemikian rupa sebelum penciptaan manusia oleh Sang Maha Perencana untuk mendampingi, melengkapi kewujudan manusia melaksanakan tugasnya agar mampu memenuhi  takdir tepat pada waktunya. Menjaga manusia agar terperingatkan untuk senantiasa waspada. Kupu – kupu yang mengabarkan kedatangan akan kebaikan, burung bence yang mengisyaratkan kehilangan bahkan burung kedasih yang mewartakan kedukaan. Sebagai duta dari penciptanya, mereka mengirimnya dengan bahasa mereka, sampai dan tidaknya pesan itu kepada manusia tergantung seberapa ingin dan peduli, membuka diri dan hati untuk menerimanya  sebagai pertanda dini.

Pada malam yang sudah dipilihkan, di sela keriuhan malam perayaan kemenangan setelah sebulan menyimbolkan diri untuk menahan segala ingin, bermalam di tempat kelahiran, beberapa perangkat elektronik yang berbeda pemilik, berjajar di tempat yang sama, sedang diisi dayanya. Sang obat liar, the wild medicine, memilihku untuk diingatkan dengan menggigit putus kabel pengisi daya. Sekilas aku tertawa setelah tentu saja sedikit mengutuknya, aaaahhh...nakalnya dia, kabel pun dimakannya.


Aku lahir dengan kepekaan yang terbatas untuk merespon pengingat – pengingat seperti itu, namun mungkin karena itu pula, semesta melengkapiku dengan teman – teman dengan cara pandang berbeda menanggapi cerita ringanku yang kuurai pada mereka sembari terbahak mentertawakan kesialanku sendiri. Dengan sebal, karibku merutuki aku yang dianggap bebal karena tidak menangkap itu sebagai sinyal. Dengan penalaran konyolku, aku mementahkan ahhh... sudahlah, pasti pun tikus itu menggigit dengan acak dan lagi pula gelap, mana bisa ia melihat warna, bukankah semua kabel terlihat sama hitamnya? Ataukah dia buta warna? Dan aku pun belum pernah membaca studi yang mempelajari bahwa tikus memiliki kegairahan pada warna tertentu. Namun diam – diam aku mencatat itu dalam angan, menyisakan pertanyaan --- mengapa aku? ---

Dan ... tentu saja aku sedikit bersiap meski pun aku tetap seseorang yang tidak akan mengakui begitu saja sebelum terbentur dan babak belur. Dan ... cerita itu tenggelam beberapa jenak dalam bilangan bulan berjamak.

Dan ... pada akhirnya, aku memang harus berterima kasih pada sang tikus rumah. Satu per satu terjawab tanya atasnya. Karakter tikus yang akan mengambil saat tidak terlihat, saat kita berpikir bahwa semua baik – baik saja dan hampir hilang rasa waspada. Menggerogoti tanpa kita sadari. Pecundang demi pecundang yang terselubung dari pandang, kini mewujud tanpa terhalang. Perlukah aku meradang? Tentu saja aku yang masih manusia lumrah ingin marah dan membiarkan rasa itu tumpah dalam sumpah serapah.

Tapi aaahhh... biarlah, itu menjadi pengingat pula untuk diriku, bahwa ini baru pemanasan pada penggorengan yang tengah dipersiapkan untuk mematangkan hidangan. Ini adalah cara buana membantu memilihkan apa yang terbaik untukku. Menyaring best friend ataukah beast friend. Berpikir baik kepada orang lain adalah keharusan namun berhati – hati adalah kewajiban, sehingga kita bisa memahami antara siaga dan curiga adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Hanya semata – mata agar waspada dan terjaga. Agar apabila terjadi hal yang tidak terduga, kita tidak perlu tergagap dan meratap, bahkan kita bisa menarik nafas lega karena akhirnya terjadi juga. Menata kembali luncasan rasa kecewa yang mungkin ada karena aku masih seorang manusia. Dan tentu saja melanjutkan cerita untuk menerima anugerah – anugerah berikutnya yang tumpah berlimpah. 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Fasilitas dan Layanan Perpustakaan Utama UINJKT

Mengenal LPM UIN Jakarta

Perpustakaan Pribadi, Cermin Intelektualitas Seseorang