Tanpa Aran

by: Bee Basuki

Beringsut lembut kutinggalkan tepi ranjang Tobias terbaring, setelah mengusap titik – titik keringat di keningnya yang masih terasa panas. Pendarahan di ginjalnya berangsur berkurang. Aku masih larut dalam sisa kemarahan kepada teman – temannya yang terlampau menyepelekan keadaannya 3 hari lalu saat air seninya bercampur darah. Sudah semenjak kedatangannya di Jogja beberapa hari lalu, sinusnya memburuk. Dia mengeluh sakit di kepalanya yang tidak juga mereda. Karenanya pula aku memintanya untuk tidak perlu membantuku atau lebih tepatnya tidak merecoki pekerjaanku menyiapkan peti kemas yang harus aku muat segera. Agar dia benar-benar bisa beristirahat. Ketidak-enakan hati kepada ketiga temannya yang ikut serta untuk berlibur di sini, memaksakan mengantar ketiganya berpesta hingga pagi di sebuah nite club pada malam dia mengalami pendarahan pada ginjalnya. Efek dari pemakaian narkotika yang menggila bertahun – tahun sebelum aku mengenalnya. Mungkin karena ketidak-enakan hatinya pula, dia melarangku untuk tahu saat dia diharuskan untuk dirawat inap. Aku meledak ketika dengan menahan tangis akhirnya dia menyerah untuk menghubungiku dan menceritakan bahwa keadaannya. Aku dan Tobias memiliki hubungan yang tidak banyak orang memahami, dua tahun lebih tua dariku, namun aku selalu merasa bahwa dia tak beda dengan anakku, seolah aku berkewajiban melindunginya, membereskan pekerjaannya yang senantiasa berantakan. Pun aku selalu merasa bahwa aku mengenalnya sejak sangat lama. Aku mengingat dengan jelas, de javu yang aku alami saat aku bertemu dengannya pertama kali, jauh – jauh hari sebelum aku mulai bekerja untuknya. Waktu itu tiga tahun umur Puruhita, anakku yang kedua. Aku masih bekerja di biro perjalanan, cover yang disiapkan agensi agar aku tidak terkenali dalam penugasanku memindai bisnis pencucian uang di area Yogya selatan. Selalu dengan nada tidak terima, setiap kali kukatakan bahwa aku punya dua anak, dia segera meralat bahwa dia yang ketiga. Berawal dari 4 tahun lalu, aku berusia 30 tahun waktu itu, saat aku mulai bekerja untuknya untuk merintis usaha baru mengirimkan perabot kamar mandi ke negara asalnya, Jerman, setelah dia kehilangan kepercayaan hidupnya, terluka batin bercerai dari istrinya, seorang yang menjadi karib semenjak masa kanak - kanaknya. Semakin menguatkan keyakinannya tentang kesialan memang nama tengahnya, lahir bersamanya. A black sheep in the family, itu yang selalu dia percayai tentang dirinya. Apapun yang ia lakukan tidak pernah berhasil baik. Apa pun yang ia lakukan selalu berakhir bencana - menurutnya. Sampai akhirnya aku menyarankan untuk berbagi tugas, dia menangani hal artistik untuk pemilihan design serta photo shooting sementara aku mengurusi ketata-usahaan. Perlahan, dia menemukan dirinya, memahami kelebihannya. Ketajaman seleranya melihat tren desain baru, membuat barang-barang yang kami kirimkan ludas dalam waktu cepat dengan sistem katalog on line. Bahkan sebelum peti kemas tiba, sebagian besar sudah terjual.

Setelah merapatkan selimutnya, aku merebahkan diri, tak jauh darinya. Aku merasakan lelah yang menyangat, setelahnya aku tersadar bahwa aku baru tiba dari 8 jam perjalanan berkendara dari Tulungagung begitu menerima telpon darinya. Sial pula aku terjebak dalam kemacetan panjang di daerah Wonogiri karena karnaval budaya. Ruangan yang temaram oleh cahaya lampu kamar, warna biru pucat cat dinding yang terlihat semakin muram serta entah jenis pengharum ruangan apa yang mereka semprotkan, menghadirkan rasa yang aneh. Aku sangat yakin ketika ekor mataku menangkap selarik sinar menembus kaca jendela dan berhenti di sudut ruangan, tepat di sisi kiriku. Samar dan teramat lambat, sinar itu berkumpul membentuk serupa asap tipis dan semakin banyak. Dan aku juga sangat yakin bahwa aku sudah mematikan pendingin ruangan ketika hawa dingin kian membuatku menggigil. Perlahan aku mulai menyadari bahwa asap tipis itu melingkupi sesosok tubuh tegap tinggi. Aku menengok ke arah Tobias yang tertidur pulas, aku masih berpikir bahwa dia sedang bermain – main, menggodaku. Tapi tidak, nafasnya teratur. Kini aku benar – benar melihat jelas, sosok itu melangkah perlahan mendekatiku, mengulurkan dua benda yang tergenggam di masing – masing tangannya. Di bahunya terselempang kain bersinar keemasan, mungkin dari tenunan benang emas, aku tidak terlalu yakin, mahkota kecil tersemat di rambutnya yang tersanggul tinggi, sebentuk segitiga sama sisi ganda dengan ukuran yang berbeda, segitiga yang lebih kecil seolah dibingkai oleh segitiga yang lainnya, ada pijaran batu merah di tengahnya.

“Sudah tiba waktunya” ujarnya seraya mengangsurkan sebilah keris telanjang, pada gagangnya melilit ronce melati karang jagung yang mengering dengan 3 kuncup bunga kantil di kedua ujungnya. Tanpa kata aku hanya menerimanya dengan tangan kananku, serasa ada daya yang membuat tanganku terulur begitu saja. Tak berselang lama setelahnya tangannya yang lain mengulurkan sebentuk tabung logam berwarna keemasan, tertutup di kedua ujungnya, aku merasai dengan rabaan jari – jariku, ada pahatan – pahatan halus di seluruh permukaannya. Terasa seperti sulur. Setelah kedua benda itu berpindah kepadaku, kedua tangannya yang bebas meraih wajahku, tangan kanannya perlahan turun untuk mengangkat naik daguku dan mendekatkan wajahnya sehingga aku melihat jelas segaris senyumnya tipis mengembang perlahan. Wajah seorang pria dewasa, halus, tanpa kumis dan jambang dengan tulang wajahnya yang tegas, wajah seorang Kaukasia. Ada damai luar biasa mengusap perasaanku. Aku bahkan mampu merasai dengusan halus nafasnya, hangat menjalari sisi kiri leherku ketika aku mendengar bisikan – bisikan menyerupai mantra mengaliri isi kepala. Aku terkesima. Tangan kirinya menuntun tanganku yang menggenggam keris, mengarahkan ujungnya yang berkilat ke ulu hatiku. Tak terpikir akan melukaiku. Saat dinginnya logam menyentuh kulit, sedikit demi sedikit bentuk keris itu memudar seperti tenggelam menembus tubuhku, terserap musnah, merasakan hangat yang berangsur turun ke perutku, kemudian berhenti di pusarku. Dia masih terus tersenyum sembari menggenggam tanganku yang masih menempel di dada.

“Tugasku mengantarkan ini, seterusnya aku akan bersamamu, aku datang saat kau memanggilku karena aku tak pernah jauh darimu. Kau akan tahu kapan kau memerlukanku,” aku mengangguk tanpa mengerti.

Giliran berikutnya, dia menuntun tanganku yang lain yang berisi tabung logam, mengangkat naik ke atas kepalaku. Dan lagi – lagi aku merasakan hangat yang sama, memasuki ubun – ubunku. Saat tanganku dibawanya turun untuk diletakkan di dadanya, aku tidak mendapati benda itu lagi digenggamanku. Samar aku mendengar dia mulai berbisik, lebih menyerupai menembang,


“Nimas ayu, kekasihku, Kanjeng Gusti Kusuma Kinanthi, engkau tak ubah madu lebah hutan, manis menggoda, tersembunyi dalam gelap pekat, dalam libat lebat daun-daun angsoka . Aku tersia karena hanya mampu merasa, tanpa bisa mendapati dalam pencarian tiada henti. Tahukah engkau betapa itu menyiksaku yang ratusan tahun menunggu  kembali kelahiranmu, hampir habis dayaku, memohon agar engkau dihadirkan kembali untuk menuntaskan tugasku yang belum usai. Akulah jiwa yang kau perlukan, untuk mewarnai lukisan perasaan. Takdirku adalah melengkapimu, menyempurnakan setiap kelebihanmu, menjadi perantara untuk membawamu pada kemuliaan. Tugasku adalah mengabdi kepada titahmu. Dan tak akan kuulangi kebodohanku seperti masa lalu karena terbutakan cinta yang tidak seharusnya.  Gulungan kebijaksanaan yang tersimpan di ubun-ubunmu, akan menyiapkanmu tepat pada waktunya, selama itu pula aku bersamamu. Aku mengutuk datangnya waktu itu  karena akan ada pemomongmu yang sudah dipilihkan, menggantikanku mendampingi untuk melanjutkan perjalananmu. Nikmatilah waktu ini bersamaku, agar paripurna janjiku dan tertebus dosa – dosaku di masa lalu, tuntas pula kujalani hukumanku agar aku bisa menerima moksaku. Sudah kuserahkan jasad pasangan Kyai Sangkelat padamu, setelah sari patinya lebih dahulu menemanimu sebelum kelahiranmu, biarkan dia menjagamu.”

Kecupan di antara kedua alisku di sela nafasnya yang memburu, melahirkan kilasan – kilasan peristiwa serupa layar sinema berukuran raksasa. Aku melihat diriku di sana, mengenakan baju ringkas, menunggang kuda dan menghunus keris yang sama persis dengan yang kulihat beberapa saat lalu. Rambutku juga disanggul tinggi, dengan hiasan serupa dengan pria yang tadi mendatangiku. Dan aku melihatnya pula di sana, menunggang kuda tepat sampingku dengan menghunus keris serupa. Hanya saja ukurannya lebih panjang dari yang kugenggam. Di belakang kami pasukan berkuda dengan panji – panji berwarna - warni, disusul di belakangnya ratusan prajurit berkuda dengan panah – panah terentang, berikutnya ada ribuan orang dengan pedang dan tombak. Aku hampir tidak bisa melihat ujung dari barisan.  Padang rumput yang sangat luas, diam mencekam.

Kilasan berikutnya aku melihat diriku sendiri berlutut di samping jasadnya yang tergeletak di atas hamparan bunga kamboja, tangan kiriku menyangga kepalanya, sedang tangan kananku memegangi hulu kerisku  yang sebagian menancap di dadanya, tangannya yang kiri yang penuh darah memegangi wajahku yang basah oleh airmata. Tidak ada sakit yang terlihat, senyum mengembang di wajahnya. Kemudian tangan kirinya mengusap perutku. Berbarengan dengan dilepaskan bibirnya dari keningku, kilasan itu pun lenyap. Aku terengah – engah, merasakan panas menyengat di kedua mataku dan denging nyaring yang menyakitkan telinga. Merasakan air merembes keluar dari kelopak mata yang kupejamkan kuat-kuat. Setelah dengingan itu mereda dan aku membuka mata, bayangan laki – laki itu sirna, meninggalkan bau wangi bunga cendana memenuhi udara.
Aku mendapati diriku masih berdiri dengan dua tangan di dadaku, merasai asinnya air mata menyentuh bibirku, menangisi sesuatu yang aku tidak pahami. Tiba – tiba aku merindukannya, memiliki kehilangan.

Tobias masih tertidur ketika kualihkan pandanganku ke arahnya. Dan sayup – sayup aku mendengar doa pagi dimulai. Terasa ada bilah membujur dari ulu hati dan berakhir di bawah pusarku. Ada sesuatu yang terus berdenyut tepat 5 jari di atas kewanitaanku, serupa kenikmatan seusai bercinta yang luar biasa. Namun pula aku mengalami demam yang tidak biasa selama tujuh hari tujuh malam lamanya. Dokter pribadiku mengatakan aku tidak apa – apa, demam yang aku rasakan terbangun tiap harinya tidak terbaca oleh pengukur suhu. Percuma aku menjelaskan padanya, dengan ringan dia mengatakan bahwa aku mengalami kelelahan akut sehingga tidak bisa membedakan realita dan fatamorgana, jawaban yang diwakilkan dengan segepok vitamin yang akhirnya hanya teronggok di tas kerjaku. Selama itu pula aku kesulitan duduk karena setiap kali aku merasa ada yang menusuk-nusuk dadaku, seperti sesuatu yang tidak bisa ditekuk. Kedua mataku serasa terbakar, telingaku berdenging tiada henti, sangat peka, hingga gesekan antara kulit dan baju pun terdengar serasa menyobek – nyobek membran dalam syaraf dengarku. Aku mengurung diri dan menghindari untuk bertemu siapa saja. Beruntung pula karena Tobias bisa aku yakinkan untuk pulang dan menerima perawatan di negaranya. Radya dan Puruhita aku titipkan pada adikku yang juga segera menyadari bahwa aku tidak baik – baik saja. Aku tahu, tidak akan ada yang mempercayai cerita konyolku tentang penglihatan pada malam itu, tentang rasa sakit yang menggila dan keganjilan yang terdengar mengada – ada.

Pada hari keenam dalam rentang tujuh hari itu, aku menerima pesan singkat dari ayah angkatku, menanyakan kabarku dan anak-anak. Bersamanya aku  merasa tetap menjadi anak kecil yang bisa merengek, merajuk dan tergelak dalam waktu yang bersamaan. Pekerjaan sebagai seorang agen, menjadikanku tak memiliki diriku sendiri. Padanya aku tak perlu bercerita apa – apa, namun dia hampir memahami segalanya. Meski pun kami sangat jarang bertemu. Terkadang aku menghabiskan 3 jam bersepeda motor menemuinya, hanya untuk menghabiskan beberapa batang rokok bersamanya, menumpahkan kegelisahan yang tak bisa kuurai pada siapa pun juga, dan pulang ke Yogya setelahnya. Kujelaskan dalam pesan panjang, apa yang sedang kualami, cerita yang membawanya mengunjungiku hari itu juga.

“Oh ternyata sudah tiba waktunya,” gumamnya hampir tidak terdengar seraya memelukku, “Sakit?” tanyanya seraya menempelkan ujung telunjuknya tepat di antara  kedua alisku. Aku terlonjak seketika, serasa ada sengatan lebah merambati jalan darah. Aku memintanya untuk tidak bersuara, karena telingaku kian berasa hampir pecah. Aku tidak bisa melihat dan mengingat dengan pasti apa yang dilakukannya, mataku seolah berkabut sehingga aku tidak yakin apakah  pijaran api dan kepulan asap  tiap kali ujung jarinya menyentuh kulitku adalah nyata. Usapan – usapan air kembang setaman terasa sejuk di wajah juga sekujur tubuh. Tak sempat aku menanyakan apa perlunya melucuti seluruh pakaianku. Tak penting lagi bagiku untuk tahu apa yang sedang terjadi, toh tahun – tahun yang terlewati pun aku tidak pernah tahu apa yang sudah kulalui. Namun yang jelas aku mulai merasakan panas tubuhku berangsur mereda, dengingan di telingaku pun tak senyaring hari – hari sebelumnya. 

“ Biarkan saja Kanjeng Gusti Kinanthi begini, jangan Gusti sia – siakan lagi apa yang sudah berjalan selama ini, mohon memahami, tugas hamba adalah menjaga agar semua berjalan sebagaimana seharusnya. Setelah malam ini, semua menjadi semakin berat jika Gusti Pangeran berkeras menuruti birahi, Gusti Putri akan mudah terkenali oleh para pemburunya karena kedua naga di masing – masing keris bertemu,” sergahnya ketika pria itu berniat meraihku.

“Aku menunggu ratusan tahun untuk menemukannya,” gumamnya geram.

“Hamba ratusan tahun pula menjadi pemomongnya, dulu terlepas sekali dan tercederai karena Gusti menuruti hati. Tidak akan terbiar untuk terjadi lagi,”sahut ayah angkatku tenang,”Akan tiba waktunya,”ujarnya mengakhiri. Yang aku ingat setelahnya adalah ujung jarinya menuliskan sesuatu di kening, tengkuk, telapak tangan kiri, serta kedua pangkal pahaku. Dan pria Kaukasia itu raib bersamaan habisnya huruf terakhir.



--- Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, Alif Lam Kha, Alif Lam Lam Ha, Alif Lam Lam Ha---

Comments

Popular posts from this blog

Fasilitas dan Layanan Perpustakaan Utama UINJKT

Bukan Karena Tikus Buta Warna

Pengaruh Syair Di Zaman Jahiliyah Terhadap Syair Di Zaman Amawiyah